Transformasi BKKBN untuk Menangani Kesejahteraan Rakyat Kita

0 7

H. LALU SUDARMADI

Mewujudkan kesejahteraan sosial merupakan salah satu tujuan kita bernegara. Untuk itu setiap pemerintahan berkewajiban memiliki dan mengembangkan kebijakan yang mampu  menyejahterakan rakyatnya. Dalam hal ini, kita telah mengadopsi pendekatan pengendalian pertambahan penduduk sebagai kebijakan dimaksud dan berhasil, sehingga Indonesia kini memiliki bonus demografi yang berpotensi menciptakan pertumbuhan ekonomi yang pesat pada 2030.

BKKBN merupakan lembaga yang berperan penting dalam dalam pengendalian kependudukan kita. Perannya semakin tak tergantikan pada masa yang akan datang, ketika Pemerintah berkepentingan dalam menangani kemiskinan, mengeliminasi gizi buruk dan stunting, memajukan keluarga berkualitas, serta mendayagunakan bonus demografi. Dalam kerangka itulah, pada pemerintahan berikutnya BKKBN perlu ditransformasi menjadi Kementerian Kependudukan agar lebih kuat dan integratif dalam mengeksekusi kebijakan dan program yang sangat vital ini.

Norma Keluarga Kecil Sudah – Tinggal Keluarga Bahagia Sejahtera

Masih ingat dengan singkatan NKKBS? Pada era Orde Baru istilah ini sangat populer, sebuah pernyataan visi pembangunan berbasis Malthusian, dimana kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan melalui intervensi pembangunan dalam bentuk pengendalian pertambahan jumlah penduduk; Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera. Pada tahun 1967 Pemerintahan Soeharto mengadopsi
gagasan yang ditawarkan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dengan memasukkan paradigma keluarga berencana sebagai bagian dari strategi pembangunan nasionalnya.

Sadar bahwa masalah kesejahteraan rakyat menjadi concern hampir semua institusi pemerintahan, maka diperlukan koordinasi yang sinergis agar tidak tumpang tindih dan saling bertabrakan
dalam implementasinya. Untuk kepentingan itu, ia pun membentuk institusi yang disebut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

BKKBN dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 8 Tahun 1970 yang kemudian disempurnakan dengan Keppres No. 33 Tahun 1972 dimana institusi ini menjadi lembaga pemerintah nonkementerian yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Kelak memasuki era Reformasi, BKKBN mengalami transformasi menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Bahkan pada tahun 2009 eksistensinya diteguhkan melalui Undang-Undang No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, kemudian diperkuat oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 145 Tahun 2015.

Dengan kelembagaan yang kuat, BKKBN tancap gas mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia melalui pengendalian jumlah penduduk. Kita tak bisa memungkiri capaian yang telah ditorehkan oleh BKKBN, sebagai berikut:

1. Mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui Program Keluarga Berencana (KB), terjadi penurunan angka kelahiran dari 5,6 (1971) menjadi 2,14 berdasarkan hasil Pendataan Keluarga BKKBN Tahun 2022. Melalui gencarnya Program Keluarga Berencana (KB), Indonesia telah melewati transisi demografi. Pada tahun 1997, Total Fertility Rate (TFR) Indonesia sebesar 5,6 dan menurun 50% lebih pada tahun 2022 sebesar 2,14. Menurunnya angka kelahiran sebagai dampak dari Program Keluarga Berencana (KB), diiringi dengan meningkatnya kualitas Kesehatan Ibu dan Anak yang ditandai dengan menurunnya Angka Kelahiran Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Dengan penurunan angka kelahiran yang cukup signifikan tersebut, berdampak pula pada semakin rendahnya tingkat ketergantungan penduduk Indonesia sejak tahun 2012, telah memasuki era bonus demografi.

2. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam Program KB awal tahun 1980-an, kesertaan KB sekitar 35%, sehingga Program KB memasuki tahun 1980-1990 menjadi gerakan masyarakat. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap Program Keluarga Berencana (KB) ditunjukkan juga dengan semakin meningkatnya keluarga Indonesia yang menggunakan KB Mandiri (Limas/
LIBI). Pada saat ini Pasangan Usia Subur (PUS) yang menggunakan Alat kontrasepsi KB mencapai 60%.

3. Pelembagaan dan Pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) menjadi sebuah norma yang diterima seluruh keluarga Indonesia dengan tagline: “Dua Anak Cukup”. Sebuah konsepsi bahwa KB bukan hanya terpaku pada pendekatan pelayanan kontrasepsi, tetapi sebuah upaya mewujudkan keluarga sejahtera-keluarga berkualitas bertumpu pada implementasi 8 fungsi keluarga.

4. Atas keberhasilan BKKBN dalam mengelola kebijakan kependudukan, maka pada tahun 1988 Indonesia mendapatkan penghargaan “Global Statement Award” dari Population Institute, Amerika Serikat dan pada tahun 1989 Presiden Soeharto menerima penghargaan tertinggi di bidang kependudukan dan keluarga berencana berupa “United Nations Population Award” dari
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), penghargaan yang sama baru diraih kembali pada Tahun 2022.

5. Indonesia menjadi Center of Excellence kependudukan Dunia.

Dari uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa BKKBN telah sukses dan berpengalaman mengantar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki norma keluarga kecil sebagai prasyarat bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat.

Berikutnya, tinggal bagaimana mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera. Saatnya Mewujudkan Keluarga Bahagia dan Sejahtera Selain terus menjalankan program pengendalian penduduk, pada masa yang akan datang Pemerintah Indonesia ditantang untuk dapat menangani empat masalah kependudukan yang fundamental bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat, yakni:

1. Penanganan Kemiskinan

Dalam beberapa dekade terakhir, data-data menunjukkan bahwa kemiskinan ini jalan ditempat. Jumlah penduduk miskin pada setiap akhir pemerintahan selalu berkisar di angka 25-35 juta. Laporan terakhir tahun 2022 jumlah penduduk miskin mencapai 26 juta. Data tersebut mengungkap bahwa kemampuan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan hanya sekitar 600.000 sampai 1 juta jiwa per tahun. Jika kondisinya seperti ini, maka untuk mengentaskan penduduk miskin memerlukan waktu yang sangat lama.

Harus diakui, sisa waktu efektif Pemerintahan Joko Widodo yang tinggal hitungan bulan, untuk sampai di akhir masa pemerintahannya dapat diprediksi bahwa target penurunan angka kemiskinan ekstrim 15 juta jiwa itu tidak akan bisa dicapai pada tahun 2024.

Dengan demikian, penanganan kemiskinan tidak bisa lagi dilakukan secara ‘business as usual’, sebagai gantinya Pemerintah Indonesia harus berani melakukan cara-cara ‘out of the box’. Kemiskinan harus menjadi super prioritas pembangunan, menjadi mainstreaming policy. Segala daya dan upaya bangsa ini harus difokuskan untuk mengentaskan penduduk miskin.

2. Penanganan Gizi Buruk dan Stunting

Sebenarnya gizi buruk dan stunting merupakan dampak ikutan dari kemiskinan. Mereka yang mengalami gizi buruk dan stunting adalah penduduk miskin. Kemiskinan, selain menimbulkan ketidakmampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan gizi yang paling minimum, juga menyebabkan mereka tidak memiliki akses terhadap informasi atau pengetahuan tentang gizi dan stunting.
Karenanya, mengentaskan kemiskinan adalah hal yang pertama dan utama dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun demikian, ada hal yang lebih khusus dilakukan dalam penanganan gizi buruk yakni mengatasi terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar (stunting). Data dari Asian Development bank pada tahun 2022 menunjukkan bahwa prevalensi stunting yang terjadi pada anak usia 5 tahun di Indonesia mencapai 31,8 persen. Angka ini pada tahun 2022 menurut Kementerian Kesehatan RI telah menurun menjadi 21,6 persen. Selanjutnya, pada tahun 2023 menurun (meskipun penurunannya kecil 0,1%) menjadi 21,5 % (berdasarkan SKI 2023). Dan pada tahun 2024 ini ditargetkan untuk bisa turun hingga 14%. Dalam mengatasinya, yang dilakukan adalah memberikan asupan gizi yang cukup kepada sekaligus pendidikan tentang anti-stunting kepada pasangan suami-istri yang bersiap memiliki bayi.

3. Pendayagunaan Bonus Demografi

Salah satu keberhasilan kebijakan pembangunan kependudukan yang dilakukan Indonesia ialah terciptanya generasi emas sebagai buah bonus demografi pada tahun 2045. Bonus demografi  terjadi sebagai akibat perubahan struktur umur penduduk, dimana proporsi usia kerja (15-65 tahun) lebih besar daripada proporsi bukan usia kerja. Keadaan ini menyebabkan usia produktif di negara tersebut lebih banyak sehingga berpotensi meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Indonesia dengan program Keluarga Berencana yang dimulai tahun 1970 telah sukses menurunkan angka kelahiran bersamaan dengan penurunan angka kematian. Indonesia mengalami transisi demografi dalam bentuk perubahan struktur umur penduduknya, dimana proporsi
penduduk usia 15 tahun ke bawah mengalami penurunan cepat sementara jumlah penduduk usia kerja meningkat sedangkan penduduk usia 60 tahun keatas turun perlahan.

Pada tahun 1980-an struktur penduduk Indonesia mulai memasuki era Bonus Demografi yang diproyeksi akan memuncak pada tahun 2030. Pada saat itu proporsi penduduk usia produktif (15-64 Tahun) mencapai 68,1% dengan angka rasio ketergantungan sebesar 46,9% Menariknya bonus demografi terjadi hanya sekali saja dalam suatu negara, sehingga pemerintahan negara yang
berpotensi memperolehnya perlu mempersiapkan dengan matang agar bonus tersebut benar-benar dapat didayagunakan. Sebab, jika tidak yang terjadi justru sebaliknya, ketika angka pengangguran justru meninggi, potensi konflik sosial pun tak terhindarkan, yang terjadi adalah bencana demografi. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia perlu memperhatikan rekomendasi
UNFPA yang menyatakan bahwa suatu negara bisa menikmati bonus demografi ketika warga negaranya menikmati kesehatan yang baik, pendidikan berkualitas, pekerjaan yang layak, serta anak-anak muda yang mandiri. Dalam kerangka inilah, pemerintah Indonesia ditantang untuk mengembangkan kebijakan pembangunan yang lebih komprehensif lagi.

4. Pembangunan Keluarga Berkualitas

Keluarga Berkualitas merupakan paradigma BKKBN dalam menjabarkan hasil dari pelaksanaan pembangunan di bidang kesejahteraan rakyat. Keluarga Berkualitas memiliki tiga dimensi yakni (a) Ketenteraman, (b) Kemandirian, dan (c) Kebahagian. Ketiganya diterjemahkan ke dalam sejumlah indikator yang dapat menggambarkan secara lebih kuantitatif kemajuan suatu keluarga
di Indonesia. Saat ini Indonesia menerapkan iBangga (Indeks Pembangunan Keluarga) dalam mengukur ketiga indikator tersebut. Kementerian Koordinator PMK melaporkan pada tahun 2023 iBangga Indonesia mencapai 61,43 persen, jumlah ini melampaui target yang ditetapkan Pemerintah yakni 59,00 persen. Meski demikian angka tersebut masih jauh dari yang diharapkan, angka ini menunjukkan bahwa lebih dari 39 persen keluarga Indonesia hidupnya belum berkualitas.

Mentransformasi BKKBN menjadi Kementerian Kependudukan Mencermati tantangan yang semakin tidak mudah dan kompleks dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat pada masa datang, Pemerintah Indonesia perlu lebih serius lagi dalam merumuskan strategi serta lebih kuat lagi mengimplementasikannya ke dalam program-program pembangunan yang
efektif dan akurat. Dalam hal ini, keberadaan BKKBN sebagai lembaga yang telah terbukti berhasil dalam pengendalian pertambahan penduduk patut mendapat peran dan fungsi yang lebih kuat lagi.

Dalam kerangka itulah perlunya transformasi kelembagaan bagi BKKBN menjadi kementerian atau lembaga setingkat menteri. Transformasi dimaksud tidak saja berarti mengubah dan mengganti struktur, personalia, tetapi juga bermakna down sizing dan right sizing serta menambah atau menyesuaikan tugas, fungsi, serta hubungan internal dan eksternal dari BKKBN ini.

Transformasi Kelembagaan BKKBN ini dilakukan dengan memberikan tugas dan fungsi dengan kewenangan penuh seperti sebelum adanya UU No.23 tahun 2013, yaitu bentuk kelembagaan vertikal mulai dari pusat, provinsi sampai Kabupaten/Kota untuk pengentasan kemiskinan dan Percepatan Penurunan Stunting dan pembangunan keluarga berkualitas.

Selain itu Transformasi Kelembagaan BKKBN menjadi Kementerian atau setingkat Kementerian akan memperkuat eksistensi dan eksekusi program karena dapat membuat kebijakan serta melakukan koordinasi dalam kebijakan operasional serta dalam pelaksanaan di lapangan. Jika berbentuk Kementerian disarankan bentuknya Kementerian (misal Kependudukan)/ Kepala BKKBN, sehingga BKKBN tetap eksis sampai di daerah seperti model perangkapan Kementerian yang lain. Hal ini dimungkinan karena kependudukan atau penduduk bisa dianggap urusan absolut (bukan konkuren) yang menjadi tanggung jawab pusat sampai daerah, namun secara operasional tetap dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah.

Leave A Reply

Your email address will not be published.